Disini adalah tempatnya orang-orang yang ingin mencari motivasi hidup
dan juga membangun kepribadiannya. Kita mulai dulu dari kisah motivasi
dari seorang bocah sma yang saya kira cukup hebat. Bocah ini bernama
mulyono yang memiliki semangat hidup tinggi meskipun berasal dari
keluarga kurang mampu. Ia adalah salah satu pemenang dari IBO atau
olimpiade biologi internasional. Tapi ia bahkan masih kesulitan sekali
masuk ke perguruan tinggi. Karena kita ketahui sendiri bagaimana
bobroknya negara ini dan parahnya lagi pendidikan di Indonesia menurut
rating adalah pendidikan mutunya jelek tapi harganya paling mahal.
Baiklah langsung saja kita simak bagaimana seorang bocahsma si mulyono
yang berjuang keras untuk bisa kuliah di ITB.
Perawakannnya kecil dan kurus, penampilannya sederhana, dan bicaranya
agak malu-malu. Ia berasal dari sebuah desa yang dikelilingi ladang
jagung di Dusun Ngampel Kurung, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, Jawa
Timur. Sekalipun tidak banyak orang yang tahu, ia adalah seorang yang
turut mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah internasional.
Mulyono (18) adalah salah seorang peraih medali perunggu dalam Olimpiade
Biologi Internasional (IBO) 2004 di Brisbane Autralia, Juli 2004.
Sebelumnya, ia meraih penghargaan honorable mention DALAM IBO 2003 di
Belarusia. Untuk sampai ke tingkat internasional, Mul, demikian
panggilan akrabnya, telah menjadi juara di tingkat kabupaten, provinsi,
dan nasional.
Prestasi membanggakan itu membuatnya diterima di Program Studi
Mikrobiologi Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui program ujian
saringan masuk (USM). Kenyataan itu bukannya membuat dia gembira, malah
bingung. “Waktu dikasih tahu saya diterima, seketika dhueeeeng .. Saya
langsung berpikir mengenai biaya SPP dan biaya hidup disana” paparnya
ketika ditemui di rumahnya hari Minggu (1/8) lalu.
Mul bercerita, kesulitan terbesar yang dialami selama hidupnya selalu
berkenaan dengan masalah keuangan. Ia berasal dari keluarga sangat
sederhana. Sejak ayahnya meninggal, ketika ia masih berusia selapan (35
hari), ibunya harus bekerja keras di Surabaya, sementara Mul hanya
tinggal bersama neneknya yang sudah tua. Karena pada dasarnya ia anak
yang pandai, sejak bersekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Srikaton I
hingga Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Pare, Mul selalu
mendapatkan beasiswa, untuk meringankan beban biaya sekolah yang harus
ditanggung ibunya.
“Beasiswa itu hanya cukup untuk membayar BP3, sedangkan untuk buku-buku
harus mengeluarkan uang sendiri. Saya bekerja sejak Mul kecil hingga
sebesar sekarang, dan jarang bertemu dengannya,” tutur sang ibu,
Mujiyati, yang ditemui beberapa hari sebelumnya.
Ia bercerita tentang keinginan besar Mul untuk sekolah di SMAN 2 Pare
yang merupakan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) terbaik di Kabupaten
Kediri. “Ia tidak mau sekolah kalau tidak di SMAN 2 Pare” katanya.
Maka, dengan berbekal uang Rp 2.200 setiap hari, Mul mengayuh sepeda
yang dia miliki sejak kelas empat SD menuju ke jalan besar di Maduretno -
yang berjarak sekitar empat kilometer - ke tempat angkutan yang akan
membawanya ke Pare. Sepedanya dia titipkan dengan ongkos Rp 200. Lalu ia
naik angkutan umum ke sekolahnya - Sekitar 10 kilometer jauhnya - dan
untuk itu harus membayar Rp 2.000 untuk pergi pulang. “Ia tidak membawa
uang untuk jajan, hanya cukup untuk naik angkutan kota. Biasanya, untuk
sarapan saja dia makan masakan yang saya masak sore sebelumnya,” tutur
Mujiyati menceritakan.
Waktu itu kehidupan begitu sulitnya bagi mereka, tetapi Mul tidak pernah
mengeluh. Begitu seringnya Mul bolak balik ke Bandung membuat ibunya
berhenti bekerja untuk menemani neneknya. Sekarang ia mengerjakan apa
saja di ladang para tetangganya. “Waktu tahu Mul diterima di ITB, saya
juga ikut bingung. Saya sudah tidak bekerja lagi di Surabaya, sementara
biaya yang ada belum cukup,” kenang Mujiyati.
Biaya yang harus dibayarkan untuk masuk ITB sebesar Rp 45 juta,
sementara biaya persemester Rp 1,7 juta. Belum lagi biaya untuk kos
setiap bulan dan biaya makan setiap harinya. Jika biaya itu tidak bisa
dipenuhi, ia terancam tak bisa memenuhi cita-citanya yang baru, menjadi
seorang peneliti.
Sebelumnya ia sangat ingin menjadi dokter. Namun cita-cita mulia itu
harus ditinggalkan karena ia tidak bisa lolos di Penjaringan Bibit
Unggul Berprestasi (PBUB) Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. “Saya
heran, mengapa tidak bisa lolos. Padahal, syarat utamanya adalah juara
olimpiade nasional atau finalis olimpiade internasional. Waktu itu saya
memenuhi kedua kriteria tersebut, tapi entah mengapa tidak diterima,”
kenang Mul dengan nada penasaran. Padahal, jika diterima di PBUB itu,
semua biaya kuliah selama 4 tahun gratis. Ia sudah membayangkan beberapa
kemudahan yang bisa dinikmatinya, apalagi biaya hidup di Yogyakarta tak
setinggi di Bandung.
Namun cita-cita itu harus kandas dan Mul harus banting setir ke ITB yang
kemudian membawanya ke berbagai kebingungan. Akan tetapi, kebingungan
itu tidak membuatnya putus asa. Mul mengajukan beasiswa ke PT Sampoerna,
yang juga berakhir dengan penolakan. “Mungkin mereka salah tangkap,
mengira saya meminta beasiswa untuk kuliah S1 di luar negeri. Karena
itu, mereka memberi syarat, saya harus meraih medali emas di olimpiade
international itu untuk bisa mendapat beasiswa dari mereka. Padahal yang
saya inginkan adalah beasiswa untuk kuliah S1 di dalam negeri,”
paparnya.
Mul sendiri selalu menabungkan uang yang diperolehnya dari berbagai
kompetisi yang diikutinya. “Saya mendapat uang saku, uang transpor
selama di pembinaan, juga dari dari juara olimpiade. Semua saya tabung.
Saya harus sangat hemat,” kata Mul. Namun sehemat-hematnya Mul
mengeluarkan uang, tetap saja tabungannya tidak mencukupi biaya kuliah
persemester dan biaya hidup di Bandung.
Api semangat Mul tidak padam, apalagi dukungan dari orang-orang di
sekitarnya sangat besar. “Anak itu memang pandai dan selalu juara kelas.
Mul juga aktif dan lincah meskipun agak tertutup. Ia juga senang
membantu menerangkan teman-temannya jika ada yang bertanya tentang
berbagai pelajaran, sampai kadang-kadang merelakan jam istirahatnya ,”
ujar guru pembimbing Biologi SMAN 2 Pare, Isrowiyati.
Dengan sukarela, para guru pembimbing mengarahkannya dan membantu
kebutuhannya jika Mul akan berangkat ke Bandung untuk pembinaan di ITB.
Para guru pembimbing adalah tempat bertanya bagi Mul. Kepada mereka, Mul
bisa berterus terang tentang berbagai hal, termasuk kesulitan yang
dialaminya. “Kami sedang mengupayakan bantuan dari berbagai pihak,
seperti Dinas Pendidikan. Karena kepada dinas sedang sakit, belum ada
kelanjutannya. Kabar terakhir, alumni SMAN 2 Pare dan SMAN 2 Kediri
bersedia memberikan bantuan untuk biaya hidup Mul sampai tamat di
Bandung,” ujar kepala SMAN 2 Pare Sukadi.
Sekarang, Mul boleh berlega hati. Banyak pihak sudah bersedia
membantunya. Ia tidak lagi berpikir tentang uang yang harus dia
keluarkan untuk biaya kuliah maupun biaya hidup selama di Bandung.
Setidaknya, ia bisa mulai mencapai idealismenya untuk menjadi orang yang
berguna bagi banyak orang. “Setidaknya apa yang saya hasilkan bisa
membuat orang lain senang meskipun mereka tidak mengenal saya. Dan itu
sudah membuat saya puas,” ujar Mul mantap.
Mulyono, dengan motto hidupnya “Badai pasti berlalu” penuh percaya diri
menyongsong hidupnya. Ladang-ladang jagung di sekitar desanya menunggu
untuk diteliti. “Saya percaya, jika sekarang saya berada dalam
kesulitan, beberapa jam, menit, atau detik lagi saya akan keluar dari
masalah itu,” katanya menutup perbincangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar